Label

Minggu, 26 Februari 2012

Ridhalah dengan Sesuatu yang Allah SWT Berikan kepadamu, Niscaya Kamu menjadi Manusia yang Paling Kaya

            Orang-orang mukmin itu ridha dengan rezeki, karunia, dan bagian yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada mereka. Sebab, mereka benar-benar beriman terhadap keadilan Allah SWT dalam membagi rezeki kepada hambaNya, kebiksanaan Allah SWT dalam membagi karuniaNya, serta keutamaan dan kasih sayangNya dalam menurunkan anugerah kepada setiap hambaNya. Itulah makna qana’ah sejati yang dianjurkan dalam agama, dan dinasihatkan oleh para ulama dan orang-orang shalih.
Sayangnya, sebagian orang telah menyelewengkan makna qana’ah. Banyak orang menduga qana’ah sebagai keridhaan terhadap kehidupan yang rendah dan hina, lemahnya bimmah untuk mencapai puncak kesuksesan, mematikan gairah untuk mencapai puncak kejayaan yang bersifat material dan maknawi, serta mengagungkan rasa lapar, fakir, dan jauh dari dunia.
            Itu semua adalah anggapan yang salah total dan kesesatan yang nyata. Qana’ah tidaklah sebagaimana anggapan orang-orang itu. Makna qana’ah mencakup dua perkara berikut:
           Pertama, manusia secara karakter/tabiat memiliki ketamakan dan kerasukan terhadap dunia, sehingga nyaris tidak akan kenyang ataupun hilang dahaganya terhadap dunia. Hal itu telah digambarkan dalam hadits berikut,  “Jika saja anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya ia akan mencari lembah emas yang ketiga. Dan tidaklah penuh mulut anak Adam, kecuali dengan tanah.” (Muttafaqun ‘Alaih)
            Oleh karenanya agama memberi petunjuk kepada manusia untuk bersikap moderat dalam ikhtiar mencari kekayaan dan berlaku baik dalam mencari rezeki. Dengan itu, maka ada sikap moderat dalam diri dan kehidupan. Sikap moderat itu juga mendatangkan ketenangan dalam hati yang merupakan rahasia kebahagiaan. Sikap tersebut juga menjauhkan dari berlebih-lebihan yang bisa menzhalimi jiwa dan badan secara bersamaan.
            Jika manusia dibiarkan untuk mengumbar ketamakan dan kerakusannya, niscaya akan menyebarkan bahaya bagi dirinya sendiri dan orang disekitarnya. Oleh karen itu, harus ada pengarahan dari nilai yang lebih luhur, makna yang lebih kekal, dan rezeki yang lebih langgeng. Itulah fungsi agama. Allah SWT berfirman sebagaimana ayat berikut:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaahaa:131).
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?." Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali-Imran: 14-15).
“(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam : "Apakah kamu sudah penuh?" Dia menjawab : "Masih ada tambahan?"” (QS. Qaaf: 30)
            Fungsi iman adalah untuk memberi batasan pada gejolak ketamakan dan kerakusan yang melenceng dalam jiwa manusia. Jangan sampai sifat tersebut manusia sehingga membuatnya hidup dalam kerisauan terus-menerus, tidak pernah merasa cukup dengan yang sedikit, tidak pernah merasa puas dengan yang banyak, dan tidak memadamkan api dahaganya sehingga matanya masih tetap melihat segala sesuatu yang ada di tangan orang lain. Rezeki yang halal tidak pernah membuatnya puas, sehingga air liurnya menetes untuk bisa mendapatkan yang haram. Jiwa seperti ini tidak akan pernah memiliki rasa ridha dan beristirahat. Jiwa itu seperti Jahannam. Kita memohon perlindungan kepada Allah SWT untuk semua itu.
            Iman berfungsi untuk mengarahkan jiwa menuju nilai yang lebih bermakna dan abadi, menuju negeri akhirat yang lestari, serta menuju Allah SWT Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Seorang mukmin mengetahui bahwa kekayaan (jika memang bisa disebut kekayaan) bukanlah pada melimpahnya harta dan meruahnya perhiasan yang rendah. Kekayaan itu berada dalam diri manusia. Oleh karenanya, di dalam hadits disebutkan, “Adapun yang disebut dengan kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kekayaan jiwa.” (Muttafaqun ‘Alaih).
           
            Kedua, yang dimaksud dengan qana’ah adalah seseorang ridha dengan segala sesuatu yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT kepadanya yang memang tidak bisa ditolak atau diubah. Dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka ia wajib untuk berusaha dan berikhtiar. Oleh karena itu, janganlah ia hidup dalam mimpi tentang sesuatu yang tidak mungkin didapatkan olehnya dan melihat dengan penuh iri terhadap karunia yang didapat oleh orang lain yang tidak diperolehnya. Contohnya adalah mimpi seorang yang sudah tua renta untuk bisa memiliki kekuatan seperti anak muda, atau seorang perempuan buruk rupa yang melihat perempuan cantik dengan penuh rasa iri dan dengki.
            Contoh yang lain adalah pandangan seorang laki-laki yang pendek terhadap laki-laki lain yang berpostur tinggi dengan rasa sedih dan cemburu, atau harapan seorang Badui yang hidup di tanah yang kering kerontang untuk mendapatkan kemewahan hidup dan berbagai kenikmatan. Ini sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Ketika itu, banyak perempuan yang berkeinginan untuk bisa mempunyai sesuatu yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Maka Allah SWT menurunkan ayat berikut:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)

            Kesimpulannya adalah hendaknya kamu ridha terhadap sesuatu yang telah Allah SWT berikan kepadamu, baik berupa harta, kecantikan, kecerdasan, kesehatan, istri, anak dan tempat tinggal. Dengan begitu, kamu akan hidup dengan kebahagiaan dan keridhaan terhadap ketentuan Allah SWT.
            Mungkin kita semua mengetahui bahwa semua Nabi dan Rasul pernah menggembala kambing, bahkan Nabi Zakaria adalah seorang tukan kayu, sementara Nabi Idris adalah seorang penjahit dan Nabi Daud berprofesi sebagai tukang besi. Akan tetapi, semua profesi tersebut tidak sedikit pun mengurangi keagungan dan derajat mereka di sisi Allah SWT.
            Ada pula gambaran yang bagus mengenai kondisi para ulama yang mulia pada zaman dulu yang kekurangan dari sisi materi duniawi. Atha’ bin Abi Rabbah, salah satu orang alim di dunia Islam pada masanya. Ia adalah bekas budak Aswad, hidungnya pesek dan rambutnya keriting. Al-Ahnaf bin Qais, ia merupakan seorang cendikiawan Arab yang jadi pusat ilmu, tubuhnya kurus kering, punggungnya bungkuk, kedua betisnya bengkok dan tubuhnya begitu ringkih. Al-A’masy, salah seorang muhaddits dunia, ia termasuk bekas budak, pandangan matanya lemah, orang fakir, bajunya kumal, serta kondisi rumah dan dirinya begitu tidak terawat.
            Nilai seseorang ditentukan oleh perbuatannya. Nilaimu terletak pada amal shalih dan berbagai khidmat yang kamu berikan kepada agama, negara dan keluargamu. Nilaimu bukan terletak pada harta, pangkat, kekuatan dan kecantikan. Ridhalah terhadap pembagian Allah SWT kepadamu, niscaya kamu akan menjadi manusia paling kaya.


Sumber: Buku “Jangan Bersedih, karena Allah Selalu Bersamamu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar