Label

Selasa, 10 Januari 2012

Islam Agama Cinta Damai

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23).

Dibuatnya perbatasan antar negara di zaman kontemporer ini, negara-negara Islam pun tidak mengizinkan masuknya siapapun ke negerinya. Kecuali, setelah ia mendapatkan apa yang disebut visa. Yaitu sesuatu yang merupakan perlindungan dari negara pemberi visa. Agar orang tersebut tidak diganggu dan aman atas diri dan harta mereka. Dari itu membunuh atau menyakiti orang yang sudah terikat dengan perjanjian dalam pemberian visa kunjungan diharamkan dalam syariat Islam. Sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an.

Orang-orang yang dalam perjanjian.
            “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. Al-An’aam: 151).
            Ibn Katsir rahimahullah berkata, “Terdapat larangan, kecaman, dan ancaman membunuh mu’ahad (orang kafir yang membuat perjanjian dengan pemerintahan Islam), yaitu orang yang termasuk ahl alharb (orang kafir yang boleh diperangi) tetapi mendapatkan perlindungan.” (Lihat, Tafsir Ibn Katsir, Jld.II h.254).
            Demikian pula terdapat ancaman keras diharamkannya masuk surga bagi orang yang membunuh mu’ahad yaitu orang-orang yang terikat janji dengan kita, sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang membunuh seorang mu’ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari: 3166).
            “Ketahuilah, siapa saja yang membunuh jiwa yang sudah membuat perjanjian, yang memiliki perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah melanggar perintah Allah. (Karenanya) ia tidak akan dapat mencium bau surga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh musim gugur.” (HR. Tirmidzi:1403).
            Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan diharamkannya membunuh seorang mu’ahad yang telah terikat dalam perjanjian, selama mereka tidak membatalkan perjanjian.”
           
Islam memerintahkan menepati janji.
            “dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’: 34).
            Umat Islam wajib menepati janji terhadap orang-orang yang membuat perjanjian (mu’ahadun) hingga waktu yang telah disepakati antara kita dan mereka selama mereka komitmen terhadap perjanjian tersebut.
            Mengenai hal itu, Allah SWT berfirman: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 4).
            Bila ada seorang non Muslim meminta perlindungan agar dapat mendengar Kalamullah, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk memberikan perlindungan terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah: 6).
            Wajib bagi seluruh kaum Muslim untuk menepati perjanjian. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, “(Perjanjian) perlindungan kaum Muslimin seperti satu kesatuan, (dapat) diupayakan oleh kalangan paling bawah di antara mereka.” (HR. Bukhari: 1870).
Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Yakni perlindungan yang mereka berikan adalah benar. Bila salah seorang di antara mereka memberikan perlindungan kepada seorang kafir, maka orang selainnya diharamkan untuk mengusiknya. Pemberian perlindungan memiliki beberapa persyaratan yang sudah dikenal. Al-Baidhawy berkata, “makna adz-Dzimmah (perlindungan) adalah al-‘Ahd (perjanjian), dikatakan demikian karena orang yang memberikannya dicela bila menghianatinya.
Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “hadits-hadits tersebut menunjukkan sahnya perlindungan yang diberikan oleh setiap Muslim kepada orang kafir. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.” Juga berdasarkan ucapan Rasulullah kepada Ummu Hani’binti Abu Thalib ra, “Sudah kami berikan perlindungan orang yang telah engkau beri perlindungan itu, wahai Ummu Hani’.” (HR. Bukhari: 3171).
Sebagaimana Allah telah mengharamkan pembatalan perjanjian dan berkhianat terhadap orang yang sudah diberikan perjanjian karena ia termasuk bentuk khianat yang dilarang Allah Ta’ala sebagaimana dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (al-Anfaal: 27).
Maka, Rasulullah saw pun telah memperingatkan agar tidak melanggar perjanjian apapun yang telah dibuat oleh seorang Muslim dalam sabdanya, “perlindungan Muslim itu (seperti) satu kesatuan, (dapat) diupayakan oleh kalangan bawah di antara mereka; siapa saja yang mengkhianati seorang Muslim, maka mendapat laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia, tidak diterima syafaat dan fidyah darinya.” (HR. Bukhari: 3179).
Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Tatkala Quraisy menawan Hudzaifah bin al-Yaman dan ayahandanya, mereka membebaskan keduanya dan membuat perjanjian dengan mereka berdua agar keduanya bersama Rasulullah tidak memerangi mereka saat mereka keluar ke Badar. Maka Rasulullah saw bersabda, “Kembalilah kamu berdua, kami akan menepati janji mereka dan meminta perlindungan kepada Allah atas mereka.” (HR. Muslim: 1787).
Rasulullah saw juga menerangkan kepada kita bahwa berkhianat merupakan salah satu sifat orang-orang munafik. Hal ini seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan hadits Abdullah bin Umar ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang ada padanya empat karakter, maka ia adalah seorang munafik sejati: Yang bila bicara, berdusta; bila berjanji, ingkar janji; bila membuat perjanjian, berkhianat dan bila bertengkar, sadis. Siapa yang ada padanya salah satu darinya, maka berarti ada padanya satu kemunafikan hingga ia meninggalkannya.” (HR. Bukhari: 3178).
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna setiap pengkhianat memiliki panji maksudnya tanda yang dikenal manusia... sedangkan makna pengkhianaat adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak menepatinya... Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya perharaman perbuatan khianat.”
Rasulullah saw telah menjelaskan kepada umatnya bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan tetapi harus ditepati dalam sabdanya, “Aku tidak melanggar perjanjian dan tidak membunuh para utusan.” (HR. Abu Daud: 2758).
Di antara para ulama yang mencatatkan mengenai hal ini adalah Imam ash-Shan’ani ketika memberikan komentar setelah memaparkan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan keharusan menjaga perjanjian dan menepatinya sekalipun terhadap orang kafir.”

Hukum membunuh.
            Hukum membunuh tentu tidak dapat disangkal lagi sebagai bentuk kerusakan di muka bumi dimana Allah melarang para hambaNya untuk melakukannya sebagaimana dalam firmanNya, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (Al-Baqarah: 204-205).
            ““Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23).
Allah Ta’ala telah mengharamkan pembunuhan terhadap anak-anak dan kaum wanita sekalipundi dalam peperangan selama mereka (kaum wanita) tidak ikut berperang dan Rasulullah saw juga mengingkari hal itu.  Di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibn Umar ra bahwasanya ditemukan seorang wanita yang mati terbunuh di dalam salah satu peperangan Nabi, maka beliau mengingkari pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak. (HR. Bukhari: 3014; Muslim: 1744).
Imam an-Nawawi berkata, “para ulama bersepakat untuk mengamalkan hadits ini dan mengharamkan pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak selama mereka tidak ikut berperang, namun jika mereka ikut berperang, maka Jumhur ulama berkata bahwa mereka boleh dibunuh.”
Sedangkan mengenai penyerangan pada malam hari terhadap non Muslim dan anak-anak cucu yang bersama mereka, Imam Malik dan al-Auza’i berpendapat bahwa tidak boleh membunuh kaum wanita dan anak-anak, apapun kondisinya, sekalipun orang-orang yang berperang itu menjadikan mereka sebagai tameng, bertahan di benteng atau di kapal dan menjadikan kaum wanita dan anak-anak bersama mereka; maka tidak boleh memanah ataupun membakar mereka.
Sementara Imam asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat bahwa tidak boleh membunuh wanita kecuali bila ia ikut serta berperang. Ibn Habib al-Maliki berkata, “Tidak boleh sengaja bermaksud membunuhnya (wanita) bila ia juga ikut serta berperang kecuali memang benar ia langsung terjun membunuh dan bertujuan demikian.”
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa tidak boleh menyengaja untuk membunuh kaum wanita dan anak-anak baik dalam suasana aman ataupun perang. Juga sangat jelas sekali berdasarkan dalil-dalil tersebut betapa Islam tidak bertanggung jawab atas (berlepas diri dari) pembunuhan nyawa-nyawa tak berdosa baik dari kaum laki-laki, kaum wanita, ataupun anak-anak di negeri kaum Muslimin.
Perlu dicatat pula, bahwa pada masanya, Umar bin Khattab pernah memperingatkan kaum musyrikin dan memberikan limit waktu hingga tiga malam namun tidak membunuh mereka. Inilah yang dapat dimaknai dari hadits tersebut di mana Nabi saw hanya memerintahkan agar mereka dikeluarkan (diekstradisi) bukan memerintah agar mereka dibunuh.

Dengan demikian Islam Agama Cinta Damai. Dan keliru bila ada orang yang memberikan stigmasi Islam agama yang mengajarkan umatnya anarkis, brutal dan kekerasan.



Sumber: Lentera Dakwah “Islam Agama Cinta Damai”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar