Label

Senin, 09 Januari 2012

Menjaga Lisan


            Lisan itu diciptakan untuk memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, membaca Al-Qur’an, memberikan petunjuk kepada makhluk Allah SWT menuju jalan-Nya serta mengungkapkan berbagai kebutuhan agama dan dunia yang tersimpan di dalam hati. Apabila lisan digunakan untuk sesuatu yang bukan tujuan diciptakannya, maka sungguh kita telah berbuat kufur kepada nikmat Allah SWT. Lisan adalah anggota tubuh yang paling dominan. Mayoritas manusia dimasukkan ke dalam neraka disebabkan karena lisan mereka. Maka, kuasailah lisan sekuat tenaga kita sehingga dia tidak akan mampu menjerumuskan kita ke dalam neraka jahannam. Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang membicarakan sesuatu yang dapat membuat tertawa rekan-rekannya. Kemudian dia dimasukkan ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun sebab perkataannya tersebut.
            Diriwayatkan juga bahwa sesungguhnya ada seorang syahid yang terbunuh dalam suatu peperangan pada masa Rasulullah saw.  Kemudian ada sahabat yang mengatakan, “Sudah dipersiapkan surga untuknya.” Lalu Rasulullah menimpali, “Kenapa engkau bisa tahu akan hal itu? Bisa jadi dia mengatakan sesuatu yang tidak memberikan manfaat kepadanya serta berbuat bakhil dengan harta yang pada hakekatnya tidak dapat mencukupinya.”
            Jaga lisan kita dari delapan perkara:


1.   Bohong.
Jaga lisan jangan sampai berbohong. Baik dalam keadaan serius ataupun bergurau. Juga jangan kita biasakan lisan bergurau dengan bohong. Karena hal itu dapat menyebabkan dia akan berbohong dalam keadaaan serius. Bohong itu adalah induk dosa besar. Disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berlaku jujurlah. Karena sesungguhnya kejujuran itu dapat menunjukkanmu ke surga. Dan tidaklah seorang itu berlaku jujur dan konsisten untuk jujur, sampai Allah SWT akan mencatatnya sebagai orang yang banyak kejujurannya. Jauhilah bohong. Karena sesungguhnya kebohongan itu dapat menunjukkan kepada kejahatan. Sedangkan kejahatan itu berlaku bohong dan terus berbuat bohong, sampai Allah SWT akan mencatatnya sebagai orang yang banyak kebohongannya.”
Jika  kita sudah dikenal masyarakat sebagai orang yang banyak berbohong, maka sifat terpecaya kita akan hilang. Ucapan kita tidak akan lagi dapat dijadikan pegangan. Semua mata akan memandang remeh dan menghina kepada kita. Jika kita ingin mengetahui keburukan bohong, lihatlah orang lain ketika mereka berbohong kepada kita. Lihatlah, seberapa jauh kita akan menghina dan berpaling dari pelakunya. Begitu pada sifat-sifat buruk lainnya yang ada pada diri kita. Bercerminlah dari orang lain. Karena kita tidak akan dapat pernah melihatkeburukan diri sendiri kecuali dari orang lain. Setiap sesuatu dari orang lain yang kita pandang buruk, maka secara otomatis orang lain akan memandang buruk pula ketika sesuatu itu ada pada diri kita. Maka janganlah kita sekali-kali rela terjerumus dalam semua perilaku buruk tersebut.

2.   Ingkar Janji.
Jangan sampai kita berjanji sesuatu kepada orang lain lalu kita melanggarnya sendiri. Bahkan seyogyanya kebaikan kita kepada oraang lain itu langsung kepada perbuatan, tanpa melalui perkataan terlebih dahulu. Jika kita terpaksa berjanji, maka janganlah kita langgar kecuali apabila ada udzur dan keterpaksaan. Karena melanggar janji itu termasuk tanda-tanda kemunafikan dan budi pekerti yang buruk.
“Ada tiga perilaku dimana barangsiapa yang mempunyainya, maka dia adalah seorang munafik, meskipun dia mengerjakan shalat dan berpuasa. (tiga perkara itu adalah) apabila dia berkata, maka dia berbohong. Apabila dia berjanji, maka dia ingkar dan apabila dia diberikan kepercayaan, maka dia berkhianat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Hasan RA).

3.   Ghibah (membicarakan keburukan orang lain).
Jagalah lisan kita jangan sampai berbuat ghibah. Karena ghibah lebih berat daripada tiga puluh kali perzinaan di dalam Islam. Begitulah sebagaimana disebutkan dalam hadits. Adapun makna ghibah adalah apabila kita membicarakan sesuatu yang ada pada diri seseorang yang kita benci. Apabila orang tadi mendengarnya, maka kita disebut sebagai orang yang berbuat ghibah dan dzalim. Meskipun kita mengatakan yang sejujurnya. Hindarilah perbuatan ghibahnya orang “alim yang riya”. Ghibah jenis ini terjadi ketika kita berusaha untuk memberikan kepahaman atau maksud tujuan kita kepada orang lain tanpa perkataan yang jelas dan tegas. Akan tetapi bisa melalui sindiran yang diarahkan kepada individu tertentu. Semisal kita mengatakan, ”Semoga Allah SWT memberikan kebaikan kepada si fulan. Karena dia telah berlaku jahat kepadaku atau menghalangi diriku untuk mendapatkan sesuatu yang telah dia dapatkan. Aku mohon kepada Allah SWT agar memperbaiki perilakunya.” Perkataan yang seperti ini mengumpulkan dua sifat buruk. Yang pertama adalah ghibah, dengan catatan apabila perkataan tersebut dapat dimengerti sepenuhnya oleh orang lain. Kecuali apabila orang yang mengatakan itu tidak menyebut individu tertentu, maka perkataan tersebut diperbolehkan. Rasulullah saw sendiri apabila tidak suka terhadap perilaku seseorang, maka beliau akan mengatakan, “Bagaimana perilaku kaum itu yang telah berlaku ini dan itu.” Tanpa menyebutkan nama individu tertentu. Dan sifat buruk yang kedua adalah tazkiyatun nafs (memuji diri sendiri) dengan menjustifikasi kesalahan orang lain dan kebaikan dirinya sendiri.
Akan tetapi jika yang menjadi maksud dari perkataan itu adalah mendo’akan, maka cukup do’akan dengan sir (dalam hati). Apabila kita bersedih karena perilaku seseorang yang buruk, maka tandanya adalah kita tidak ingin membicarakan keburukan dan menceritakan ‘aibnya. Karena apabila kita menceritakan kesedihan karenanya, maka sama dengan kita membicarakan keburukannya. Dan cukup firman Allah SWT sebagai pencegah diri kita untuk tidak berlaku ghibah, yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Hujuraat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah SWT menyerupakan diri kita dengan pemakan daging bangkai. Maka, sangat layak apbila kita harus menjauhi perilaku ghibah ini. Apabila kita ingin menjauhi perilaku ghibah, maka cobalah untuk melihat ke dalam diri lita sendiri, apakah kita mempunyai ‘aib dhahir maupun batin?  Apakah kita melakukan kemaksiatan baik dalam keadaan sembunyi atau terang-terangan? Apabila kita mengetahuinya, mak ketahuilah ketidakberdayaan orang untuk membebaskan diri dari ‘aib dan dosanya itu seperti ketidakberdayaan kita untuk menjauhi perilaku maksiat kita tersebut. Dan alasannya melakukan dosa tersebut sama dengan alasan kita kenapa kita juga melakukan kemaksiatan tersebut. Begitu juga ketika kita tidak senang apabila ‘aibmu disebut-sebut dan dijelek-jelekkan, maka orang lainpun tidak akan senang apabila ‘aib dan cacatnya dibicarakan orang lain.
Jika kita mampu menutupi ‘aib orang lain, maka Allah SWT akan menutupi ‘aib diri kita sendiri. Tetapi jika kita menceritakan semua keburukan orang lain, maka Allah SWT akan menguasakan lisan-lisan yang tajam untuk membuka semua ‘aib-‘aib kita di dunia dan keburukan kita akan dibuka di hadapan semua makhluk pada hari kiamat kelak.
Apabila kita tidak melihat adanya cacat dan ‘aib dalam diri sendiri, baik dalam hal agama maupun dunia, maka ketahuilah bahwa ketidaktahuan seseorang akan keburukan dirinya sendiri itu termasuk jenis ketololan yang paling parah. Dan tidak ada ‘aib yang lebih besar daripada kebodohan dan ketololan. Jika Allah SWT menghendaki kebaikan dalam diri kita, maka Allah SWT akan membukakan mata terhadap semua ‘aib dan kekurangan diri kita dengan penuh keridlaan dan puncak kebodohan kita. Lalu apabila kita memang benar tidak mempunyai kekurangan dalam hal agama dan dunia, maka bersyukurlah kepada Allah SWT dan jangan kita rusak kebaikan kita itu dengan cacian orang lain serta suara-suara sumbang mereka. Karena yang demikian itu termasuk ‘aib yang paling besar.
Sayyidina Umar ra pernah mengatakan, “Berdzikirlah kepada Allah SWT. Karena itu bisa menjadi obat bagimu. Jauhilah ghibah dan omongan orang lain. Karena ghibah itu adalah penyakit. Ketahuilah bahwa suudzdzon itu adalah haram semisal perkataan yang buruk. Maka sebagaimana diharamkan membicarakan keburukan orang lain kepada selain kita, maka diharamkan pula membicarakan keburukan orang lain dalam diri kita sendiri. Allah SWT berfirman: “Jauhilah kebanyakan prasangka yang buruk.”

4.   Mencela perkataan orang lain dan berdebat serta diskusi sengit dengan orang lain.
Ketiga hal itu mengandung perbuatan yang menyakiti, membodohkan dan mencela orang lain. Di dalam ketiga hal itu juga mengandung indikasi adanya penyucian dan memuji diri sendiri dengan kelebihan yang berupa kepandaian dan ilmu yang dimiliki. Ketiganya juga akan memperkeruh kehidupan. Karena tidak akan pernah bertemu dengan orang bodoh kecuali jika dia akan menyakiti dan tidak akan pernah bertemu dengan orang pandai kecuali dia akan membenci serta dengki kepada kita. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang meninggalkan perdebatan dan mencela perkataan orang lain,  sedangkan dia adalah orang yang salah, maka Allah SWT akan membangun satu rumah baginya di sekitar surga. Sedangkan barang siapa yang meninggalkannya, sedangkan dia adalah orang yang benar, maka Allah SWT akan membangun satu rumah baginya di atas surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dari riwayat Anas bin Malik RA).
Janganlah kita terpedaya oleh syaithan yang mengatakan kepada diri kita, “Tampakkan kebenaran dan jangan berikan kompromi dalam hal kebenaran.” Karena selamanya syaithan akan menjerumuskan orang bodoh kepada kejahatan melalui hal yang nampaknya baik. Maka, jangan sampai kita menjadi bahan tertawaan syaithan, sehingga ia akan mengejek kita.
Menampakkan kebaikan itu adalah sesuatu yang baik kepada orang yang jelas mau menerima kebenaran tersebut dari kita. Dan hal itu dilakukan dengan jalan nasehat dalam keadaan sepi dan bukan di hadapan orang lain. Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya di dalam surga ada beberapa ruangan yang bagian dalamnya dapat dilihat dari luar dan bagian luarnya dapat dilihat dari dalam. Dimana Allah SWT telah mempersiapkannya untuk orang yang memberikan makan dan halus dalam perkataan.” Memberikan nasehat itu mempunyai sifat dan kondisi yang harus dipenuhi, yaitu memperhalus perkataan dan menyepikan tempat dari pandangan pihak ketiga. Nasehat juga membutuhkan perkataan yang baik. Dan jika tidak, maka nasehat itu hanya akan menjadi pembicaraan perkataan orang lain. Padahal membicarakan kejelekan orang lain itu lebih banyak sisi negatifnya daripada sisi positifnya. Siapapun yang bergaul dan bertemu dengan para pakar agama pada zaman sekarang ini, maka dia akan dikuasai oleh sifat suka mencela perkataan orang lain dan perdebatan serta sulit baginya untuk diam. Karena mereka telah diberikan ilmu dan diajar oleh ulama suu’ bahwa sesungguhnya mengalahkan perkataan orang lain dan berdebat itu adalah keutamaan serta kemampuan beragumentasi serta berdiskusi sengit itu adalah sesuatu yang dipuji. Maka, berlarilah engkau dari ulama seperti ini seperti berlarinya kita dari seekor harimau. Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya mencela perkataan orang lain itu adalah sebab murkanya Allah SWT dan kebencian manusia.

5.   Memuji Diri.
“ Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Pernah ditanyakan kepada sekelompok ahli hikmah, “Apakah kejujuran yang buruk itu?” mereka menjawab, “Seseorang yang memuji dirinya sendiri.” Jagalah dirimu jangan sampai kita membiasakan dan terbiasa dengan perilaku ini. Ketahuilah juga bahwa memuji diri sendiri itu dapat mengurangi harga diri dan kedudukan diri kita di mata manusia serta menjadi sebab murka Allah SWT kepadamu. Jika kita ingin mengetahui bahwa pujian kita terhadap diri sendiri itu tidak  menambah kedudukanmu di mata manusia, lihatlah orang lain dan rekan-rekan di sekitar kita yang memuji dirinya sendiri dengan nilai serta sifat utama dan pangkat serta harta. Bagaimanakah hati kita mengingkari hal tersebut. Naluri kita akan merasa berat untuk menerimanya. Dan bagaimanakah diri kita akan mencelanya ketika kita sudah berpisah dengannya. Maka ketahuilah, bahwa mereka itu sama kondisinya dengan diri kita ketika kita memuji diri kita sendiri. Dimana hati mereka akan mencela perilaku tersebut di saat mereka masih bersama dan mereka akan menampakkannya ketika kita sudah berpisah dengan kita.

6.   Suka Melaknat.
Jagalah diri kita jangan sampai kita melaknat sesuatu yang telah diciptakan Allah SWT, baik berupa binatang, makanan atau manusia itu sendiri. Jangan pula kita menhakimi orang yang seagama (ahli kiblat) dengan status kafir, syirik ataupun munafik. Karena yang mengetahui sesuatu yang tersembunyi hanyalh Allah SWT. Maka janganlah kita mencampuri urusan seorang hamba dengan Allah SWT.
Perlu kita diketahui, bahwa besok pada hari kiamat kita akan ditanya, “Kenapa kita tidak melaknat si fulan dan justru berdiam diri melihatnya?” bahkan jika melaknat Iblis sepanjang usiamu dan lisanmu tidak pernah menyebutnya, maka kita tidak akan pernah ditanya tentang hal itu. Kita juga tidak akan dituntut pada hari kiamat mengenai perkara tersebut. Justru ketika kita melaknat makhluk Allah SWT, maka kita akan dituntut kelak pada hari kiamat. Rasulullah saw sendiri tidak pernah mencela makanan yang tidak enak. Apabila beliau tertarik dengan makanan itu, maka beliau memakannya dan jika tidak, maka beliau akan membiarkan atau meninggalkannya.

7.   Mendo’akan buruk terhadap makhluk.
Jagalah lisanmu agar tidak mendo’akan buruk kepada makhluk Allah SWT. Jika ada seseorang yang berbuat aniaya kepadamu, maka serahkanlah urusanmu kepada Allah SWT. Disebutkan dalam suatu hadits bahwa, “Sesungguhnya orang yang terdzalimi itu akan mendo’akan buruk kepada orang yang mendzaliminya sampai kedua kedzalimannya sama. Kemudian orang yang mendzalimi tadi justru mempunyai keutamaan melebihi orang yang didzaliminya dan akan menuntutnya pada hari kiamat.” Pada zaman dulu, banyak orang yang melaknat Al-Hajjat bin Yusuf (salah seorang pemimpin yang ‘alim akan tetapi lalim). Allah SWT akan menuntut orang yang telah melaknat Al-Hajjat sebagaimana Dia juga menuntut Al-Hajjat atas kedzalimannya kepada orang lain.

8.   Bergurau berlebihan dan saling mengejek serta menghina orang lain.
Jagalah lisan kita dari sifat tersebut, baik dalam kondisi bergurau ataupun serius. Karena perilaku tersebut dapat membuang air muka dan menurunkan kehormatan dan keagungan, meninggalkan kesedihan, ketakutan dan kesepian serta menyakiti banyak hati. Sifat-sifat di atas merupakan awal mula terjadinya banyak pertengkaran, kemarahan dan putusnya persahabatan. Juga dapat menanamkan rasa dengki di dalam hati. Maka janganlah kita bergurau dengan orang lain. Apabila dia mengajak bergurau, maka janganlah kita tanggapi dan berpalinglah darinya sampai mereka berpindah pada tema pembicaraan lainnya. Apabila bertemu dengan orang-orang yang membicarakan sesuatu yang buruk, maka berperilakulah seperti orang yang penuh kemuliaan dengan memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran.

Uraian di atas merupakan sekian di antara bahaya lisan. Dan kita tidak akan dapat menghindar dari bahaya-bahaya tersebut kecuali dengan ber’uzlah atau berdiam diri dan berbicara apabila terpaksa. Abu Bakar ash-Shiddiq ra meletakkan sebuah batu di mulutnya agar mulutnya diam dan tidak berbicara kecuali seperlunya saja. Beliau berisyarat kepada lisannya dan berkata, “Ini adalah anggota tubuh yang mengantarkan aku kepada banyak hal.” Ketika beliau sudah meninggal, beliau pernah dimimpikan oleh seorang sahabat dan dalam mimpi itu beliau ditanya, “Apa yang sebenarnya diantarkan lisanmu kepadamu?” beliau menjawab, “Dengannya aku mengucapkan, Laa ilaaha illallah. Kemudian aku diantarkan masuk surga dengannya.”
Maka jagalah lisan kita sekuat tenaga. Karena lisan merupakan sebab yang paling dominan terhadap kehancuran di dunia dan akhirat.


Sumber: buku “sehari bersama Imam Al-Gazali”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar